Menulis Esai sebagai Panggilan Hati

tumblr_inline_oubl7qw8um1t773pi_500

Saya ingin meminta kepada kalian untuk mendefinisikan tentang panggilan hati. Tak perlu diutarakan di komentar jurnal ini. Cukup simpan dalam benak masing-masing. Itu menurut kalian, saya tak akan mendebatnya. Semoga kurang lebih sama dengan pemahaman saya juga. Definisi di sini mungkin terlalu berat bahasanya. Maksud saya lebih ke arah pemahaman atau bagaimana kalian memaknai panggilan hati tadi.

Saya sendiri memahami panggilan hati sebagai satu ajakan kuat untuk melakukan sesuatu di mana saat mengerjakannya beban yang ada bisa tidak dianggap sesuatu yang berat dipikul. Mengalir begitu saja karena beroleh kebahagiaan tatkala hasilnya mulai kelihatan. Bahkan ketika tak menghasilkan sekali pun, sesuatu itu tetap menyenangkan untuk dilakukan. Seolah menemukan satu rumus baru dari bahagia, tak melulu soal harta dan kawan-kawannya.

Salah satu hal yang saya rasakan sebagai panggilan hati saat ini selain bermain bersama anak-anak tiap Sabtu di Planet Antariksa, yaitu menulis esai.

Dulu, dulu banget di awal-awal kuliah istilah esai masih sangat asing di benak saya. Jenis tulisan seperti apakah itu? Lalu tibalah saya di masa-masa pencarian definisi mengenai esai lewat bantuan internet yang hanya dengan kerja sangat sederhana bisa dengan cepat tahu mengenai makna sesuatu. Esai salah satunya.

Saya entah kenapa sangat penasaran dengan sesuatu yang terkandung di balik esai. Bila puisi dan cerpen sedikit banyak saya pahami walau mungkin banyak pula salahnya, untuk esai, saya sama sekali tak punya pencerahan. Terlebih penulisan esai di jurusan saya pun nampaknya tidak popular—bahkan sampai saat ini. Dan saya sedang berupaya membuatnya tidak terlalu asing.

Seperti saya ceritakan di jurnal sebelumnya bahwa awal mula saya jatuh cinta dengan esai yaitu lewat esai-esai juara di Kompetisi Esai Mahasiswa (KEM) yang diselenggarakan Tempo Institute—sebuah sayap perusahaan Tempo dengan sistem non profit. Bahkan hingga kini saya masih berusaha melacak dan mengarsipkan esai-esai tersebut.

Jurnal ini pun ditulis berdasarkan dorongan inspirasi saat saya sedang melakukan aktivitas pencarian esai-esai pemenang lomba ini sejak tadi pagi. Saya melakukannya dari dulu, tapi masih banyak yang belum terdeteksi. Makanya saat hasrat untuk membaca karya-karya mereka kembali timbul, saya pun melanjutkannya.

Dari proses pencarian itu saya jadi tahu kalau kompetisi esai yang mengusung tagline MEndingan JAngan DIam untuk Indonesia (Menjadi Indonesia) ini diadakan sejak tahun 2009 dan konsiten diselenggarakan hingga tahun 2014. Namun, saya tak menemukan informasi lebih lanjut untuk yang tahun 2014 itu. Apakah benar-benar ada atau hanya berhenti di tataran penyebaran informasi lomba dan buntu di tengah jalan? Saya tak pasti tahu tentang hal itu.

Selain mencari-cari esai juara dari lomba yang diadakan Tempo tadi, saya pun mencari esai dari lomba lain. Tibalah saya pada penemuan terhadap kumpulan esai Ahmad Wahib Award yang isinya 6 esai pemenang pada tahun 2014, dan 3 esai pada penyelenggaraan di tahun sebelumnya, tahun 2012.

Saya menemukan satu nama yang tak asing di sana: mas Naufil Istikhari. Saya sempat berinteraksi dengannya via facebook karena dia sempat menjadi juara 2 lomba artikel yang diadakan salah satu jurusan di fakultas saya.

Alumnus PonPes An-Nuqayah Madura sekaligus lulusan Psikologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini juga salah satu dari peserta terpilih pada Kemah Menjadi Indonesia tahun 2013. Jadi lomba esai yang diadakan Tempo itu memang tidak langsung menentukan siapa juaranya. Melainkan dari sekian ribu peserta esai dipilihkan sekitar kurang lebih 30 orang untuk mengikuti kemah selama dua minggu.

Di acara tersebut selain diberikan materi mengenai kepenulisan,  ditransferkan pula wawasan-wawasan tentang ke-Indonesiaan melalui sesi-sesi yang diisi para pakar. Mantep lah si mas ini pokoknya. Tulisan-tulisannya bisa dibaca di blog pribadinya: secariksenja.blogspot.com.

Tipikal esai-esai pemenang di lomba esai Ahmad Wahib Award ini menurut saya—meskipun baru baca satu judul, yang punya mas Naufil itu—lebih berat dan sepertinya membutuhkan riset lebih dalam dalam proses penulisannya. Tulisan-tulisan yang bisa dijadikan salah satu kiblat untuk penulisan esai. Selain tentu esai-esai dari esais senior dan berpengalaman lainnya.

Saya menyenangi membaca esai-esai para pemenang di lomba-lomba yang sekaliber KEM TEMPO  dan Ahmad Wahib Award. Esai-esai mereka membuat saya ingin terus belajar dan tak cepat berpuas diri atas pencapaian yang masih cetek ini. Dari esai-esai tersebut saya bisa meraba-raba sedikit tentang kepribadian penulisnya serta isi kepala dan kiprah kontiribusi mereka terhadap negerinya, Indonesia. Saya salut sama dan tentu ingin pula bisa mendekati kualitas mereka bahkan melampauinya. Bisa diusahakan secara pelan-pelan.

Begitulah, mengakrabi esai dengan cara membaca, mendiskusikan hingga turut menuliskanya menjadi sebuah panggilan hati bagi saya. Semoga terus seperti itu hingga kelak saya pamit dari dunia yang penuh dengan misteri ini.

Muhammad Irfan Ilmy | Bandung, 7 Agustus 2017

Sumber gambar: Tempo.co

Menulis Esai sebagai Panggilan Hati

4 thoughts on “Menulis Esai sebagai Panggilan Hati

    1. Muhammad Irfan Ilmy says:

      hehe. enggak kok mas. masih dalam porsi pujian yang pas. siap mas. eh kok bisa sampai ke sini mas?

Leave a reply to Muhammad Irfan Ilmy Cancel reply